30 September 2010

20 September 2010
Ditengah kebisuan malam terdengar suara sepeda lapuk dikayuh oleh seorang pria perpawakan tegap. Terlintas dipikiran banyak orang, sepeda itu sudah tak mampu lagi menahan beban pengayuhnya. Namun, bagi pria itu, Tuhan tidak akan memberikan mukjizat kepada hambanya yang hanya bisa berpangku tangan. Jadi apapun yang dimilikinya, biarlah disyukuri segala bentuk wujudnya. Meski banyak orang mencibir tetap saja tidak akan merubah nasibnya. Tukan jahit sepatu dan sandal tidak akan berubah menjadi pemilik pabrik sepatu dengan cibiran, yang bisa merubah hanyalah Tuhan dan kerja keras.

Kernyit sepeda semakin kentara tatkala malam makin senyap. Sesekali terdengar suara jangkrik dan desis ular memberi warna nada pada malam ini. Sepeda lapuk itu sudah sampai pada sebuah tempat tinggal yang lebih sering disebut dengan gubuk. Karena tidak ada serambi depan selain tumpukan sampah kardus. Tak ada cendela dan hanya pintu yang terbuat dari kayu triplik bekas yang mulai lapuk juga. Ditambah dengan tidak adanya dinding pemisah antar ruangan karena terlalu sempitnya gubuk itu untuk dipisahkan.

Tukang jahit sepatu meletakan sepeda pada tumpukan kardus bekas di depan rumah, lalu mengetuk pintu," Assalamu'alaikum..." Dan dari dalam gubuk ada yang menjawab do'a itu," Wa 'alaikumsalam, Pak?!"

Pintu terbuka dan terlihat seorang ibu tersenyum dengan menyambut bawaan yang dijinjing oleh sang bapak. Seolah ia ingin melepaskan beban yang ada di lengan bapak, suaminya itu. Suami duduk pada sofa bekas yang atasnya telah diberikan kardus agar lubang tertutupi dan bisa digubakan bersandar. Istri membawakan kopi sisa pagi tadi sebagai pengobat lelah.

"Atta sudah tidur Bu?", tanya suami setelah meminum kopi. "Sudah Pak. Atta juga sudah makan sebelum tidur. Tadi Bu Naning kemari dan memberi ayam gorang, katanya belinya kebanyakan. Lalu Atta saya suapi. Ini sisa ayam goreng Bu Naning itu Pak.," kata istri sambil menyodorkan sepiring nasi dengan ayam goreng disisi nasi.

"Ibu sudah makan?" tanya suami kembali. Dan dijawab," Sudah Pak, tadi sama Atta. Suami kembali melanjutkan perkataannya," Bu Naning selalu begitu ya Bu. Sampai aku tidak enak sendiri". Dan istri pun melanjutkan perkataannya," Ya itulah yang namanya orang kaya Pak. Selalu memberi karen selalu dapat lebih.

Pembicaraan dalam gubuk itu terus berlanjut hingga keduanya terhanyut dalam lelapnya malam.

***

25 September 2010
"Bu, Bapak hari ini tidak keliling dulu. Badanku rasanya lagi sakit," kata suami pada suatu subuh. " Ya sudah Pak. Memang sekarang lagi musimnya orang sakit. Nanti saya belikan obat kalau kiosnya Bu Marmi sudah buka", sahut ibu dengan mulai memijit tubuh suaminya itu." Tidak usah Bu. Mungkin dengan istirahat, besok juga sudah sehat lagi. Lebih baik kalau punya uang Atta dibelikan sarapan dengan telor, biar tidak mudah sakit", kata suami dengan tersenyum

Ibu membalas senyum dan berkata,"Pak kemarin Atta bicara sama ibu, katanya, Bu, Bapak kerjanya kan tukang jahit sepatu, jadi sepatu Atta banyak jahitannya. Tapi kalau Bapak kerjanya jualan sepatu, Atta kalau ke sekolah pasti tidak pakai sepatu. Trus saya tanya, lho kok tidak pakai sepatu? Dia jawab, iya dong Bu. Soalnya sepatunya Atta di jual sama Bapak". Keduanya tertawa dan Atta yang jadi bahan pembicaraan terbangun karena suara tawa itu. 

Atta adalah gadis kecil berusia 7 tahun, bila mengikuti pendidikan formal, mungkin sudah menginjak kelas 1 sekolah dasar. Tapi yang bisa diikuti oleh Atta hanyalah sekolah gratis yang dikelola oleh sebuah yayasan. Di sekolah itu hanya ada 2 kelas, yaitu kelas A dan B. Bila telah selesai dari sekolah itu, Atta harus melanjutkan kelas 1 di sekolah dasar. Dan itu akan terjadi tahun depan.

Atta kecil bagai lentera di gubuk itu. Dia bagaikan televisi berjalan untuk Bapak dan Ibunya, yang terkadang bisa membuat senang dan terhibur, kadang bisa membuat haru, bahkan tak luput juga membuat jengkel. Tapi bagi Bapak dan Ibunya, Atta adalah batu fairus yang tak pernah tersentuh tangan manusia, hanya Tuhan yang mampu mengukirnya.

"Atta tidak sholat shubuh?", tanya si Bapak, dan di jawab oleh gadis kecil itu dengan anggukan. Semua segera mengambil air wudhlu dan mulai melakukan sholat berjama'ah di dalam gubuk.

Jauh dari gubuk tukang jahit sepatu terdengar samar perbincangan orang dari dalam rumah mewah. Di sana telah berkumpul beberapa orang dan seakan masih menunggu orang lain lagi. Hingga matahari mulai terasa panas, orang yang ditunggu belum datang juga.

bersambung....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda tinggalkan komentar Anda di sini, saya akan secepatnya menanggapi komentar Anda. Terima kasih.